UU ITE Direvisi Akankah Membatasi kebebasan Berkreasi?
Juru bicara Kementerian Komunikasi dan Informasi, Noor Iza,
menegaskan bahwa revisi UU ITE bertujuan untuk memberikan kepastian
hukum dan perlakuan yang adil bagi para pengguna internet.
Salah
satu revisi adalah mengatur pasal pencemaran nama baik menjadi delik
aduan, yang berarti hanya bisa diproses secara hukum jika dilaporkan
oleh korban atau sesorang yang merasa menjadi sasaran.
"Misalnya ada seseorang mau mengadukan bisa saja. Kan seseorang bebas mengadukan tinggal nanti apakah dalam penyidikan memang mention atau status tersebut memang betul mengarah ke orang tadi nanti dibuktikan di dalam pengadilan.
"
KUHP kan jelas. Pencemaran nama baik harus jelas kepada siapa, nanti
bukti-bukti akan dibuktikan di pengadilan," tambah Noor Iza.
Hukuman diringankan
Perubahan
lain adalah ancaman hukuman pencemaran nama baik diturunkan dari
maksimal enam tahun menjadi empat tahun sehingga tersangka pelaku
pencemaran nama baik tidak akan ditahan.
Alasannya, dalam KUHP disebutkan bahwa penahanan perlu dilakukan jika ancaman penjara di atas lima tahun.
UU
ITE yang mulai diberlakukan pada 2008 telah mengundang banyak kecaman
karena dianggap membatasi publik untuk memberikan kritik. Salah satu
yang menjadi korban adalah Prita Mulyasari, yang mengkritik salah satu
rumah sakit swasta melalui email pribadi yang kemudian tersebar di dunia
maya.
Prita kemudian ditahan walau Pengadilan Tangerang akhirnya membebaskannya dari pencemaran nama baik.
Dengan revisi ini, maka tidak akan ada lagi penahanan terhadap
tersangka pencemaran nama baik namun Donny Budi Utoyo -dari kelompok
pengawas informasi, komputer dan teknologi (ICT Watch)- tetap ada risiko
pengguna internet dikenakan pasal pencemaran nama baik akibat urusan
sepele.
Donny juga menilai pasal pencemaran nama baik sebaiknya dihapuskan karena dianggap dapat membatasi kebebasan berekspresi.
"Ada
atau tidak adanya pasal 27 bukan menjadi jaminan kalau orang tidak akan
menjadi lebih benar di internet atau tidak menjadi jaminan kalau orang
tidak akan membalas dendam dengan menggunakan pasal tersebut dengan
melaporkan orang lain", kata Donny.
Supriyadi Widodo Eddyono -ahli
hukum ITE dari Institut Reformasi Pengadilan Kriminal (ICJR)- juga
sepakat agar pasal mengenai pencemaran nama baik lebih baik dihapuskan.
"Ancaman
pidana yang tinggi untuk syarat suatu penahanan tidak begitu signifikan
dalam memutus rantai kebebasan berekspresi. Selama pasal itu ada, akan
menjadi cara untuk menargetkan orang-orang tertentu yang dianggap
melanggar UU ITE", kata Supriyadi.
"Usul kami adalah menghapus
pasal ini dan segera menggunakan pasal 310 -311 KUHP yang masih relevan
tentang penghinaan secara lisan maupun tulisan."
Blokir pemerintah
Lewat revisi ini, pemerintah juga diberikan kewenangan untuk memutus akses informasi elektronik yang dianggap melanggar hukum.
Namun
Donny berpendapat ketentuan tersebyt sebenarnya sudah lama diatur dalam
Peraturan Menteri Kominfo walau belum ada undang-undang sebagai payung
hukum yang menegaskan pemerintah wajib memblokir konten negatif.
"Pasal
baru itu intinya mengatakan bahwa pemerintah memiliki kewenangan untuk
melakukan pemfilteran atau pemblokiran konten yang dianggap melanggar
Undang-Undang", kata Donny.
"Apa yang diblokir? Itu diacu lagi
pada UU lain. Misalnya kalau diblokir terkait terorisme berarti masuknya
diatur ke UU Terorisme dan yang boleh minta pemblokiran misalnya BNPT.
Yang terkait dengan obat-obatan terlarang, diatur lewat UU kesehatan,
ada BPOM yang minta pemblokiran."
Selain perubahan pencemaran nama baik, revisi juga menambahkan ketentuan mengenai right to be forgotten atau hak untuk dilupakan dengan menghapus konten informasi elektronik yang tidak benar, berdasarkan keputusan pengadilan.
Noor
Iza berkata penghapusan konten dilakukan untuk semua data di internet
setelah dibuktikan di pengadilan karena bertujuan untuk membersihkan
nama baik seseorang.
"Agar konten-konten itu tidak dapat diakses,
dikeluarkan dari sistem yang terbuka atau konten-konten itu dihapus.
Tidak dapat di-search juga, jadi search engine harus menghilangkan dan juga server-server harus menutup konten-konten itu agar tidak dapat diakses", terang Noor.
Indonesia adalah negara pertama di Asia yang menerapkan ketentuan right to be forgotten, namun sudah banyak diterapkan di negara-negara lain khususnya di belahan barat.
Comments
Post a Comment